Monday, May 6, 2013

Balada Penjaga Warkop


Menjelang maghrib, hujan rintik- rintik ditengah perjalanan menuju rumah seorang temen didaerah Pekayon, Pasar rebo. Karena tak ada jas hujan akhirnya gue neduh dipinggiran jalan tepatnya didekat pertigaan gang yang akan masuk ke kompleks perumahan temen gue. Gue berteduh didepan sebuah ruko yang sedang tutup.

Semilir angin yang mengiringi hujan membuat badan yang agak basah ini terasa menggigil, sepertinya gue harus mencari sesuatu untuk menghangatkan badan. Tepat disebelah ruko tempat gue berteduh ada sebuah Warung Kopi (Warkop), gue lihat ada beberapa anak muda yang lagi ngerokok sambil ngobrolin tentang motor mereka yang diparkir di depan warkop.

“gue kemaren abis ganti knalpot nihh.. lumayan abisnya 300 ribu, tapi sebandinglah sama suaranya” begitulah obrolan mereka yang sayup- sayup gue denger.

Akhirnya karena tak sanggup menahan dingin,gue pun segera beranjak dari tempat gue neduh dan pergi ke warkop tersebut.

“Bang, teh manis anget dong..”
“iya dek, tunggu bentar ya..” jawab abang penjaga warkop.

Warkop atau warung kopi setahu gue memang jadi budaya khas tersendiri di Ibu kota, menu sajian yang serba instan dan cepat menjadi pilihan utama para penduduk ibu kota yang nota bene hanya memiliki waktu senggang yang cukup singkat.

Makanan yang disajikan di warkop memang cenderung makanan- makanan yang ringan dan cepat saji. Semisal indo mie dan aneka minuman sachet, kopi pun juga kebanyakan dalam bentuk sachet. Ya semua itu lagi- lagi tentu karena faktor lingkungan,  warga ibu kota cenderung suka yang short time. Maka lahirlah yang disebut warkop.

Padahal kalau dikampung, tempat nongkrong itu intinya ya pada kopinya, mereka (orang kampung) lebih mementingkan selera lidah. Jangankan pakai kopi sachet,warung yang pakai kopi racikan tapi ternyata kurang enak pasti akan ditinggal pelanggannya. Oleh karena itu kalau dikampung racikan kopi itu bisa menentukan ramai atau tidaknya pengunjung sebuah warung. Kalau racikan kopinya mantepp, meskipun suami dirumah sudah dibuatin kopi sama istrinya yakin dehh dia bakal tetep ke warung untuk beli kopi.

“Ini dek teh anget manisnya..” kata penjaga warkop. Gue sebenarnya nggak suka ngopi, makanya pesennya teh anget saja.

“udah berapa lama bang disini?” tanya gue ke abang warkop.
“wah udah lama dek, udah hampir lima tahunan kali..” jawab abangnya. Sambil menunggu hujan reda gue ngobrol ngalor ngidul sama abang penjaga warkopnya.

Warkop ini memang letaknya cukup strategis, berada tepat disamping jalan pertigaan. Jadi setiap orang bisa mengakses warkop ini dengan mudah. Selain itu, tempat ini juga kerap dijadiin ajang nongkrong para anak- anak ABG buat saling pamer motor dan juga godain cewek- cewek yang lewat.

Dibalik kesan warkop yang sederhana dan sangat merakyat ini, dan juga ditambah dengan isi warkop yang serba makanan murah, ternyata  ada kisah luar biasa yang mengiringi pembentukan warkop ini.

Menurut pengakuan abang  warkop , warkop ini dia buat nggak lama setelah dia memutuskan untuk resign dari pabrik tempatnya bekerja.

yahhh, saya kecewa dek dengan tempat saya bekerja dulu. Tidak ada penghargaan sama sekali pada karyawan yang lebih senior. Selalu saja karyawan yang muda- muda yang diangkat..” papar abangnya.

Berlatar dari kekecewaan itulah akhirnya abang warkop keluar dari tempatnya bekerja, dan memutuskan untuk mendirikan warkop bersama istrinya.

“saya berhenti kerja, lalu buka warkop sama istri saya. saya buka warkopnya pas banget didepan pabrik saya dulu bekerja. Awalnya saya diomelin istri saya ‘mas kok bikinnya didepan pabrik sih, nggak malu?’ begitu kata istri saya, tapi ini strategi saya dek” jelas abang warkop.

Abang warkop sengaja memilih lokasi didepan bekas pabrik tempatnya bekerja karena punya alasan tersendiri. Baginya tidak ada istilah malu dalam bekerja, apapun pekerjaannya nggak jadi masalah selama halal. Dia buka warkop didepan pabrik dengan asumsi nanti pelanggannya pasti temen- temennya waktu kerja. Jadi sudah tidak perlu repot- repot lagi cari pelanggan.

“namanya juga warkop baru dek, pasti kan agak lama baru dapet para pelanggan. Nah, kalau didepan pabrik kan banyak temen- temen saya yang nanti pada mampir. Dan Alhamdulillah, bahkan sampai mantan bos saya juga nongkrongnya di warkop saya itu” jelas abang warkop sambil terkekeh- kekeh, sesekali dia menyedot rokok yang ada disela- sela jarinya.  

Dari hasil buka warkop si abang mengaku sudah bisa membangun rumah besar dikampungnya, bisa beli motor, dan perabotan- perbotan lainnya. Istilahnya udah makmur karena warkop.

“saya sekarang udah punya warkop 5 dek, yang lain dijaga sama orang. Saya tinggal ambil untung saja ke mereka tiap bulan. Alhamdulillah meskipun saya hanya penjaga warkop tapi nggak kalah deh gajinya sama gaji PNS. Lihat saja ini perut saya juga gendut kan? kayak perut- perut PNS. Bedanya kalau mereka gendut karena uang korupsi, kalau saya kan tidak...” kata abang warkop.

Terang saja makmur, orang satu sachet kopi yang harganya cuma seribu kalau diwarkop dengan ditambah seduhan air panas harganya jadi tiga ribu. Belum lagi Indomie dan lainnya.

Tapi gue sungguh salut dengan keberanian abang warkop ini dalam mengambil resiko untuk keluar dari tempat kerja dan membuka usaha sendiri. Meskipun hanya sebatas usaha buka warkop tapi siapa sangka hingga saat ini usahanya semakin berkembang, dan penghasilannya tiap bulan sudah melebihi gaji orang kantoran yang setiap pagi harus buru- buru berangkat ke kantor dan sore hari harus bermacet- macet ria untuk pulang kerumah.

Sedangkan abang warkop hanya cukup dengan duduk nonton tv sambil sesekali nyeruput kopi dan tak lupa segelinting rokok di selipan jarinya.

“satu lagi dek, kalau buka usaha kayak gini kunci utamanya kita harus bisa nemenin ngobrol pengunjung yang dateng. Mereka dateng kemari kan niatnya pengen nongkrong dan ngobrol. Kalau kita cuekin ya bisa kabur mereka..” tambah abang warkop.

Tak terasa adzan isya’ pun berkumandang, dan gue lihat hujan sudah reda.

“bang saya pamit ya,, mau lanjut perjalanan. Udah reda nih, makasih nih udah sharing pengalamanya..” gue pamitan sama abang warkop dan segera melanjutkan perjalanan kerumah temen gue.

No comments:

Post a Comment