Menjelang
maghrib, hujan rintik- rintik ditengah perjalanan menuju rumah seorang temen
didaerah Pekayon, Pasar rebo. Karena tak ada jas hujan akhirnya gue neduh
dipinggiran jalan tepatnya didekat pertigaan gang yang akan masuk ke kompleks
perumahan temen gue. Gue berteduh didepan sebuah ruko yang sedang tutup.
Semilir
angin yang mengiringi hujan membuat badan yang agak basah ini terasa menggigil,
sepertinya gue harus mencari sesuatu untuk menghangatkan badan. Tepat disebelah
ruko tempat gue berteduh ada sebuah Warung Kopi (Warkop), gue lihat ada
beberapa anak muda yang lagi ngerokok sambil ngobrolin tentang motor mereka
yang diparkir di depan warkop.
“gue
kemaren abis ganti knalpot nihh..
lumayan abisnya 300 ribu, tapi sebandinglah sama suaranya” begitulah obrolan
mereka yang sayup- sayup gue denger.
Akhirnya
karena tak sanggup menahan dingin,gue pun segera beranjak dari tempat gue neduh
dan pergi ke warkop tersebut.
“Bang,
teh manis anget dong..”
“iya
dek, tunggu bentar ya..” jawab abang penjaga warkop.
Warkop
atau warung kopi setahu gue memang jadi budaya khas tersendiri di Ibu kota,
menu sajian yang serba instan dan cepat menjadi pilihan utama para penduduk ibu
kota yang nota bene hanya memiliki waktu senggang yang cukup singkat.
Makanan
yang disajikan di warkop memang cenderung makanan- makanan yang ringan dan
cepat saji. Semisal indo mie dan aneka minuman sachet, kopi pun
juga kebanyakan dalam bentuk sachet. Ya semua itu lagi- lagi tentu karena
faktor lingkungan, warga ibu kota cenderung suka yang short time. Maka lahirlah yang
disebut warkop.
Padahal
kalau dikampung, tempat nongkrong itu intinya ya pada kopinya, mereka (orang
kampung) lebih mementingkan selera lidah. Jangankan pakai kopi sachet,warung
yang pakai kopi racikan tapi ternyata kurang enak pasti akan ditinggal
pelanggannya. Oleh karena itu kalau dikampung racikan kopi itu bisa menentukan
ramai atau tidaknya pengunjung sebuah warung. Kalau racikan kopinya mantepp, meskipun suami dirumah sudah
dibuatin kopi sama istrinya yakin dehh dia bakal tetep ke warung untuk beli
kopi.
“Ini
dek teh anget manisnya..” kata penjaga warkop. Gue sebenarnya nggak suka ngopi,
makanya pesennya teh anget saja.
“udah
berapa lama bang disini?” tanya gue ke abang warkop.
“wah
udah lama dek, udah hampir lima tahunan kali..” jawab abangnya. Sambil menunggu
hujan reda gue ngobrol ngalor ngidul sama abang penjaga warkopnya.
Warkop
ini memang letaknya cukup strategis, berada tepat disamping jalan pertigaan.
Jadi setiap orang bisa mengakses warkop ini dengan mudah. Selain itu, tempat
ini juga kerap dijadiin ajang nongkrong para anak- anak ABG buat saling pamer
motor dan juga godain cewek- cewek yang lewat.
Dibalik
kesan warkop yang sederhana dan sangat merakyat ini, dan juga ditambah dengan
isi warkop yang serba makanan murah, ternyata ada kisah luar biasa yang
mengiringi pembentukan warkop ini.
Menurut
pengakuan abang warkop , warkop ini dia buat nggak lama setelah dia
memutuskan untuk resign dari pabrik tempatnya bekerja.
“yahhh,
saya kecewa dek dengan tempat saya bekerja dulu. Tidak ada penghargaan sama
sekali pada karyawan yang lebih senior. Selalu saja karyawan yang muda- muda
yang diangkat..” papar abangnya.
Berlatar
dari kekecewaan itulah akhirnya abang warkop keluar dari tempatnya bekerja, dan
memutuskan untuk mendirikan warkop bersama istrinya.
“saya
berhenti kerja, lalu buka warkop sama istri saya. saya buka warkopnya pas
banget didepan pabrik saya dulu bekerja. Awalnya saya diomelin istri saya ‘mas
kok bikinnya didepan pabrik sih, nggak malu?’ begitu kata istri saya, tapi ini
strategi saya dek” jelas abang warkop.
Abang
warkop sengaja memilih lokasi didepan bekas pabrik tempatnya bekerja karena
punya alasan tersendiri. Baginya tidak ada istilah malu dalam bekerja, apapun
pekerjaannya nggak jadi masalah selama halal. Dia buka warkop didepan pabrik
dengan asumsi nanti pelanggannya pasti temen- temennya waktu kerja. Jadi sudah
tidak perlu repot- repot lagi cari pelanggan.
“namanya
juga warkop baru dek, pasti kan agak lama baru dapet para pelanggan. Nah, kalau
didepan pabrik kan banyak temen- temen saya yang nanti pada mampir. Dan
Alhamdulillah, bahkan sampai mantan bos saya juga nongkrongnya di warkop saya
itu” jelas abang warkop sambil terkekeh- kekeh, sesekali dia menyedot rokok
yang ada disela- sela jarinya.
Dari
hasil buka warkop si abang mengaku sudah bisa membangun rumah besar
dikampungnya, bisa beli motor, dan perabotan- perbotan lainnya. Istilahnya udah
makmur karena warkop.
“saya
sekarang udah punya warkop 5 dek, yang lain dijaga sama orang. Saya tinggal
ambil untung saja ke mereka tiap bulan. Alhamdulillah meskipun saya hanya
penjaga warkop tapi nggak kalah deh gajinya sama gaji PNS. Lihat saja ini perut
saya juga gendut kan? kayak perut- perut PNS. Bedanya kalau mereka gendut
karena uang korupsi, kalau saya kan tidak...” kata abang warkop.
Terang
saja makmur, orang satu sachet kopi yang harganya cuma seribu kalau diwarkop
dengan ditambah seduhan air panas harganya jadi tiga ribu. Belum lagi Indomie dan lainnya.
Tapi
gue sungguh salut dengan keberanian abang warkop ini dalam mengambil resiko
untuk keluar dari tempat kerja dan membuka usaha sendiri. Meskipun hanya
sebatas usaha buka warkop tapi siapa sangka hingga saat ini usahanya semakin
berkembang, dan penghasilannya tiap bulan sudah melebihi gaji orang kantoran
yang setiap pagi harus buru- buru berangkat ke kantor dan sore hari harus
bermacet- macet ria untuk pulang kerumah.
Sedangkan
abang warkop hanya cukup dengan duduk nonton tv sambil sesekali nyeruput kopi
dan tak lupa segelinting rokok di selipan jarinya.
“satu
lagi dek, kalau buka usaha kayak gini kunci utamanya kita harus bisa nemenin
ngobrol pengunjung yang dateng. Mereka dateng kemari kan niatnya pengen
nongkrong dan ngobrol. Kalau kita cuekin ya bisa kabur mereka..” tambah abang
warkop.
Tak
terasa adzan isya’ pun berkumandang, dan gue lihat hujan sudah reda.
“bang
saya pamit ya,, mau lanjut perjalanan. Udah reda nih, makasih nih udah sharing
pengalamanya..” gue pamitan sama abang warkop dan segera melanjutkan perjalanan
kerumah temen gue.
No comments:
Post a Comment